TANAH DATAR - Mengingat, publik akan terus membutuhkan informasi yang andal dan terverifikasi melalui kerja jurnalis yang profesional serta independen. Maka, sinergitas dibutuhkan untuk membangun kepercayaan publik.
Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Pol Satake Bayu Setianto, S.I.K saat diskusi melalui sambungan telpon mengungkapkan, bahwa keberhasilan Polri khususnya jajaran Polda Sumbar tidak lepas dari campur tangan pers. “20 persen keberhasilan karena personilnya sendiri, 20 persen dari keorganisasian, dan 60 persen karena publikasi rekan-rekan pers. Sehingga secara jujur Polri melihat posisi yang strategis dari pers. Sehingga menjadi sesuatu yang tidak mungkin dijauhkan oleh Polri, ” bebernya, Jum’at (21/01).
Berbicara tentang sinergitas, kata Satake, di dalamnya terdapat kerja sama yang produktif dan kemitraan yang humanis antara pers dengan polri. Tentunya, menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas untuk bangsa, negara, serta masyarakat Sumatera Barat Khususnya.
Alumnus Akademi Kepolisian 1992 itu menyebut, membutuhkan beberapa kiat untuk menumbuhkan harmonisasi itu. Pertama, menumbuhkan rasa saling percaya antara insan pers dan Polri yang dibangun dengan melakukan etika profesinya secara bertanggung jawab. “Ketika masing-masing dilaksanakan saya yakin sinergitas itu akan terbangun, ” imbuhnya.
Kedua, memegang teguh kesepahaman yang dibuat. Satake menyebut, antara Polri dan dewan pers sudah memiliki nota kesepahaman yang ditandatangani. Berisi tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakkan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan.
Ketiga, insan pers dan Polri harus dapat menahan emosi. “Ini sangat penting. Karena bagaimana pun pers maupun Polri sebagai manusia, makhluk yang unik. Dalam bekerja di lapangan, pasti ada kesalahpahaman. Namun, kita bisa selesaikan secara beradab, ” tandas Sakate.
Polri juga membuat sejumlah program untuk mendekatkan diri dengan pers. Di antaranya, visit media, coffee morning di Mabes Polri, dan talkshow bekerjasama dengan televisi swasta nasional.
Sedangkan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tanah Datar, Mustafa Akmal menilai, konsep kebebasan pers berbeda di setiap negara. Menyesuaikan rezim politiknya. Di Indonesia, kebebasan pers sudah tertulis di Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan tercantum di Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28, bahwa kebebasan itu adalah hak segala bangsa, hak setiap orang masyarakat.
“Di Indonesia berkali-kali menyatakan pers kita bebas. Tapi, nyatanya, secara praktik kebebasan itu selalu diterjemahkan secara sepihak oleh rezim yang berkuasa. Kebebasan pers tidak pernah ketemu antara insan pers dengan rezim politik yang berkuasa, ” kata Mustafa Akmal.
Meski demikian, kebebasan itu bukan tanpa aturan. Namun, kebebasan untuk menyuarakan kepentingan publik. Bukan kepentingan ekonomi, politik, dan perusahaan media.
Sinergitas itu berarti harus ada tiga aspek. Pertama, adalah kesepahaman yang sama atau mutual understanding. Termasuk antara pers dan Polri. Polri harus membuka informasi dan kesempatan kepada pers untuk melakukan investigasi jurnalistik. Ini diperlukan supaya ketika itu dilaporkan, publik tidak misleading dengan informasi yang keliru.
Begitu pula wartawan juga harus memahami cara kerja Polri. Tidak etis ketika memberitakan suatu perkara yang penyidikannya belum tuntas. “Wartawan tidak boleh mengupas sampai detil. Karena takutnya pers atau media justru akan menjadi hakim untuk menjustifikasi, ” Dt Tapa, sapaan akrab Mustafa Akmal.
Kedua, di dalam Sinergitas harus ada kerja sama. Artinya, pers bersama Polri harus memiliki idealisme yang sama untuk memberikan informasi kepada publik. Yang ketiga, sinergitas bisa dicapai jika pers dan Polri bisa menghargai etika profesi masing-masing.
Sementara itu Sri Purnama Luis salah seorang wartawati yang selama ini intens mengekspos kegiatan Polri khusunya penangkapan pelaku kejahatan, berpendapat, kebebasan pers harus dimaknai sebagai salah satu cara bagi wartawan untuk berkontribusi membangun Indonesia. Khususnya, pemerintahan dengan segala organisasi dan perangkatnya. Melalui tulisan, rekaman, foto dan berita akan menghadirkan mekanisme kontrol, check and balance, bahkan pengingat sejarah.
“Sehingga akan muncul pemerintahan yang bijaksana, bersih, dan transparan, ” ucapnya.
Dt Canang, salah seorang wartawan senior asal Kabupaten Tanah Datar menilai, sinergitas antara pers dan Polri sangat penting. Sebagai dua entitas dalam negara yang bekerja dalam hal melayani publik. Sedikit salah langkah saja bisa hilang kepercayaan publik terhadap pers atau polri.
“Ketika bekerja di lapangan, saya terkadang sering kali lupa bahwa polisi atau aparat hanyalah orang yang menjalankan tugasnya. Mereka adalah ayah, suami, kaka, adik dan pula tulang punggung keluarganya, begitu pula sebaliknya. Di sini saya justru ingin mengatakan selain sinergi di bidang profesionalisme seperti memahami hak dan kewajiban masing-masing di lapangan, ” jelasnya
Pers dan Polri juga harus bersinergi dalam hal kemanusiaan. Bersinergi dengan kerja yang jujur dan selaras mengedepankan kemanusiaan, akan membawa hubungan pers dan Polri jauh lebih baik dan saling melengkapi. “Ketika pers dan Polri sudah bersinergi di level ini, publik akan menilainya sendiri dan akan menumbuhkan kepercayaan yang lebih dalam. Sebab, pada dasarnya semuanya hanya manusia yang hidup untuk menghidupi hidupnya, ” tandasnya.
Menurut Joni Hermanto, wartawan media online www.indonesiasatu.co.id selama ini bekerja sesuai etika dan kaidah jurnalistik. Namun bukan berarti tidak ada kekhawatiran. Seiring berkembangnya teknologi, harus mulai memikirkan etika-etika bekerja di ruang virtual. “Ketika sebagai individu kita berubah status dari citizen menjadi netizen. Saat ini sudah marak terjadi, banyak berita yang kerap mengambil kutipan-kutipan dari kolom komentar yang ibaratnya itu hanyalah siulan burung belaka, ” ungkapnya.
Joni melanjutkan, kebebasan pers adalah yang tidak mencederai kepentingan publik dan tidak melanggar hak asasi warga negara. Indonesia menganut sistem demokrasi. Wajar bika kemudian identik dengan kebebasan masyarakatnya untuk berekspresi menyuarakan pendapat. Begitu pula untuk pers. Juga diberikan kebebasan untuk melaksanakan kerja-kerja jurnalistiknya.
“Meski demikian, pers tidak boleh semaunya dalam hal penyampaian informasi. Oleh karena itu, penting pers untuk selalu taat kepada dua UU. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers dan kedua UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, ” jelas Joni.
Sinergitas pers dan Polri tidak hanya untuk membangun kepercayaan terhadap publik. Lebih dari itu, kemitraan pers dan Polri harus dilakukan dengan benar dan baik. Sehingga tidak terjadi arogansi Polri yang diterima pekerja pers.
“Karena fakta sampai hari ini, tindakan intimidasi bahkan sampai tindakan kekerasan masih dilakukan Polri kepada pers, semoga kedepannya benturan itu tidak lagi terjadi, ” ungkapnya.(JH)